Menikah Tanpa Wali

Wedding in Iraq

Mukaddimah

Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa ini adalah maraknya pernikahan ‘jalan pintas’ dimana seorang wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat, kenalannya dan sebagainya.

Ini tentunya sebuah masalah pelik yang perlu dicarikan akar permasalahan dan solusinya secara tuntas, sehingga tidak berlarut-larut dan menjadi suatu trendi sehingga norma-norma agama diabaikan sedikit demi sedikit bahkan dilabrak.

Tidak luput pula dalam hal ini, tayangan-tayangan di berbagai media televisi yang seakan mengamini tindakan tersebut dan dengan tanpa kritikan dan sorotan menyuguhkan adegan-adegan seperti itu di hadapan jutaan pemirsa yang notabenenya adalah kaum Muslimin.

Hal ini menunjukkan betapa umat membutuhkan pembelajaran yang konfrehensif dan serius mengenai wawasan tentang pernikahan yang sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya mengingat tidak sedikit tradisi di sebagian daerah (untuk tidak mengatakan seluruhnya) yang bertolak belakang dengan ajaran agama dan mentolerir pernikahan tanpa wali tersebut bilamana dalam kondisi tertentu seperti tradisi ‘kawin lari’. Dengan melakukan tindakan ini dengan cara misalnya, menyelipkan sejumlah uang di bawah tempat tidur si wanita, seakan kedua mempelai yang telah melakukan hubungan tidak shah tersebut -karena tanpa wali yang shah- menganggap sudah tidak ada masalah lagi dengan pernikahannya sekembalinya dari melakukan pernikahan ala tersebut.

Sebagai dimaklumi, bahwa tradisi tidak dianggap berlaku bilamana bertabrakan dengan syari’at Islam.

Mengingat demikian urgen dan maraknya masalah ini, sekalipun sudah menjadi polemik di kalangan ulama fiqih terdahulu, maka kami memandang perlu mengangkatnya lagi dalam koridor kajian hadits, semoga saja bermanfa’at bagi kita semua dan yang telah terlanjur melakukannya menjadi tersadar, untuk selanjutnya kembali ke jalan yang benar.

Naskah Hadits

1. عَنْ أَبِي بُرْدَةَ, عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ أَبِيْهِ -رضي الله عنهما- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لاَ نِكَاحَ إِلاّ بِوَلِيٍّ .”

Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya –radliyallâhu ‘anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”

2. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْن مَرْفُوْعًا: لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ

Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ : “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”

3. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : “أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اْلمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَِّ لَهُ. ”

Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”

Takhrij Hadits Secara Global

Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki ‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).

Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah).
Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim, al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy. Ibn al-Mulaqqin di dalam kitab al-Khulâshah berkata, “Sesungguhnya Imam al-Bukhariy telah menilainya shahîh dan juga dijadikan argumentasi oleh Ibn Hazm.” Al-Hâkim berkata, “Riwayat mengenainya telah shahih berasal dari ketiga isteri Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam; ‘Aisyah, Zainab dan Ummu Salamah.” Kemudian dia menyebutkan 30 orang shahabat yang semuanya meriwayatkannya.

Syaikh al-Albaniy berkata, “Tidak dapat disangkal lagi, hadits tersebut berkualitas Shahîh sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa tersebut dinilai shahih oleh banyak ulama. Jika, digabungkan lagi dengan riwayat pendukung dari sisi matan (Tâbi’) dan sebagian riwayat pendukung dari sisi sanad (Syâhid) yang kualitasnya tidak lemah sekali, maka hati kita menjadi tenang untuk menerimanya.”

Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât dan termasuk Rijâl Imam Muslim.

Hadits ini dinilai shahih oleh Ibn Ma’in, Abu ‘Awânah dan Ibn Hibban. Al-Hâkim berkata, “Hadits ini sesuai dengan syarat yang ditetapkan asy-Syaikhân (al-Bukhariy dan Muslim), diperkuat oleh Ibn ‘Adiy dan dinilai Hasan oleh at-Turmudziy. Hadits ini juga dinilai Shahîh oleh Ibn al-Jawziy akan tetapi beliau menyatakan bahwa terdapat ‘illat, yaitu al-Irsâl akan tetapi Imam al-Baihaqiy menguatkannya dan membantah statement Ibn al-Jawziy tersebut. Maka berdasarkan hal ini, hadits ini kualitas isnadnya Hasan. Wallahu a’lam.”

Beberapa Pelajaran dari Hadits-Hadits Tersebut

  1. Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan syarat shahnya sehingga tidak shah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali yang melaksanakan ‘aqad nikah. Ini adalah pendapat tiga Imam Madzhab; Malik, asy-Syaf’iy dan Ahmad serta jumhur ulama.
    Dalil pensyaratan tersebut adalah hadits diatas yang berbunyi (artinya), “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan wali.”
    Al-Munawiy berkata di dalam kitab Syarh al-Jâmi’ ash-Shaghîr, “Hadits tersebut hadits Mutawatir.” Hadits ini dikeluarkan oleh al-Hâkim dari 30 sumber. Sedangkan hadits ‘Aisyah diatas (no.3 dalam kajian ini) sangat jelas sekali menyatakan pernikahan itu batil tanpa adanya wali, dan bunyinya (artinya), “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil (tiga kali).”
  2. ‘Aqad nikah merupakan sesuatu yang serius sehingga perlu mengetahui secara jelas apa manfa’at pernikahan tersebut dan mudlaratnya, perlu perlahan, pengamatan yang seksama dan musyawarah terlebih dahulu. Sementara wanita biasanya pendek pandangannya dan singkat cara berpikirnya alias jarang ada yang berpikir panjang sehingga dia memerlukan seorang wali yang memberikan pertimbangan akan ‘aqad tersebut dari aspek manfa’at dan legitimasi hukumnya. Oleh karena itu, adanya wali termasuk salah satu syarat ‘aqad berdasarkan nash yang shahih dan juga pendapat Jumhur ulama.
  3. Seorang wali disyaratkan sudah mukallaf, berjenis kelamin laki-laki, mengetahui manfa’at pernikahan tersebut dan antara wali dan wanita yang di bawah perwaliannya tersebut seagama. Siapa saja yang tidak memiliki spesifikasi ini, maka dia bukanlah orang yang pantas untuk menjadi wali dalam suatu ‘aqad nikah.
  4. Wali adalah seorang laki-laki yang paling dekat hubungannya dengan si wanita; sehingga tidak boleh ada wali yang memiliki hubungan jauh menikahkannya selama wali yang lebih dekat masih ada. Orang yang paling dekat hubungannya tersebut adalah ayahnya, kemudian kakeknya dari pihak ayah ke atas, kemudian anaknya ke bawah, yang lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi, kemudian saudara kandungnya, kemudian saudaranya se-ayah, demikian seterusnya berdasarkan runtut mereka di dalam penerimaan warisan. Disyaratkannya kedekatan dan lengkapnya persyaratan-persyaratan tersebut pada seorang wali demi merealisasikan kepentingan pernikahan itu sendiri dan menjauhi dampak negatif yang ditimbulkannya.
  5. Bila seorang wali yang memiliki hubungan jauh menikahkan seorang wanita padahal ada wali yang memiliki hubungan lebih dekat dengannya, maka hal ini diperselisihkan para ulama:
    Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan tersebut Mafsûkh (batal).
    Pendapat Kedua menyatakan bahwa pernikahan itu boleh.
    Pendapat Ketiga menyatakan bahwa terserah kepada wali yang memiliki hubungan lebih dekat tersebut apakah membolehkan (mengizinkan) atau menfasakh (membatalkan) nya.
    Sebab Timbulnya Perbedaan
    Sebab timbulnya perbedaan tersebut adalah:
    “Apakah tingkatan perwalian yang paling dekat dalam suatu pernikahan merupakan Hukum Syar’iy yang murni dan mutlak hak yang terkait dengan Allah sehingga pernikahan tidak dianggap terlaksana karenanya dan wajib difasakh (dibatalkan)”,
    Ataukah “ia merupakan Hukum Syar’iy namun juga termasuk hak yang dilimpahkan kepada wali sehingga pernikahan itu dianggap terlaksana bilamana mendapatkan persetujuan si wali tersebut; bila dia membolehkan (mengizinkan), maka boleh hukumnya dan bila dia tidak mengizinkan, maka pernikahan itu batal (fasakh).”
  6. Perbedaan Para Ulama
    Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa adanya seorang wali merupakan syarat shah suatu akad nikah. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, diantaranya Tiga Imam Madzhab.
    Sementara Imam Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa hal itu bukanlah merupakan syarat.
    Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat terakhir ini banyak sekali namun masih dalam koridor permasalahan khilafiyyah yang amat panjang.
    Diantara dalil mereka tersebut adalah mengqiyaskan (menganalogkan) nikah dengan jual beli. Dalam hal ini, sebagaimana seorang wanita berhak untuk memanfa’atkan dan menjual apa saja yang dia maui dari hartanya, demikian pula dia berhak untuk menikahkan dirinya sendiri. Namun para ulama mengatakan bahwa ini adalah Qiyâs Fâsid (Qiyas yang rusak alias tidak sesuai dengan ketentuan) karena tiga faktor:
    Pertama, karena ia merupakan Qiyas yang bertentangan dengan Nash sehingga menurut kaidah ushul, Qiyas seperti ini tidak boleh dan tidak berlaku.
    Kedua, Dalam Qiyas itu harus ada kesamaan antara dua hukum dari kedua hal yang diqiyaskan tersebut, sementara disini tidak ada. Dalam hal ini, nikah merupakan hal yang serius, perlu pandangan yang tajam dan kejelian terhadap konsekuensi-konsekuensinya, namun berbeda halnya dengan jual beli yang dilakukan dengan apa adanya, ringan dan kecil permasalahannya .
    Ketiga, bahwa akad terhadap sebagian suami bisa menjadi ‘aib dan cela bagi seluruh keluarga, bukan hanya terhadap isterinya semata. Jadi, para walinya ikut andil di dalam proses persemendaan (perbesanan), baik ataupun buruknya.

Dalam hal ini, Abu Hanifah membantah hadits ini dengan beragam jawaban:

Pertama, Terkadang beliau mengeritik sanad (jalur transmisi) hadits yang menurutnya terdapat cacat, yaitu adanya perkataan Imam az-Zuhriy kepada Sulaiman bin Musa, “Saya tidak mengenal hadits ini.”

Kedua, mereka mengatakan bahwa lafazh “Bâthil” di dalam teks hadits tersebut dapat dita’wil dan maksudnya adalah “Bishodadil Buthlân wa mashîruhu ilaihi.” (Maka pernikahannya akan menuju kebatilan dan berakibat seperti itu).

Ketiga, mereka berkata bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan wanita (Mar`ah) di dalam teks hadits tersebut adalah wanita yang gila atau masih kecil (di bawah umur)…

Dan bantahan-bantahan lainnya yang tidak kuat dan sangat jauh dimana para ulama juga menanggapinya satu per-satu.

Tanggapan Terhadap Bantahan Tersebut

Terhadap Bantahan Pertama, bahwa sebenarnya hadits tersebut memiliki banyak jalur yang berasal dari para Imam-Imam Besar Hadits dan periwayat, bukan seperti yang dikatakan oleh Abu Hanifah melalui perkataan Imam az-Zuhriy tersebut.

Terhadap Bantahan Kedua, bahwa ta’wil tersebut tidak tepat dan amat jauh dari sasaran.

Terhadap Bantahan Ketiga dan seterusnya, bahwa nash-nash tentang hal itu amat jelas sehingga tidak membutuhkan ta’wil-ta’wil semacam itu. wallahu a’lam.

Dalil-Dalil Pensyaratan Wali

Diantara dalilnya adalah hadits yang telah dipaparkan diatas, dan mengenainya:

  • ‘Aliy al-Madiniy berkata, “Shahîh”. Pensyarah berkata, “Ia dinilai Shahîh oleh al-Baihaqiy dan para Huffâzh .”
  • Adl-Dliyâ` berkata, “Sanad para periwayatnya semua adalah Tsiqât.”Hadits tersebut juga telah dikeluarkan oleh al-Hâkim dan bersumber dari 30 orang shahabat.
  • Imam al-Munawiy berkata, “Ia merupakan hadits Mutawatir.”
    Dalil lainnya:
    – Bagi siapa yang merenungi kondisi ‘aqad nikah dan hal-hal yang dibutuhkan padanya seperti perhatian serius, upaya mencari mashlahat dan menjauhi dampak negatif dari pergaulan suami-isteri, kondisi suami dan ada tidaknya kafâ`ah (kesetaraan), pendeknya pandangan dan dangkalnya cara berfikir wanita serta mudahnya ia tergiur oleh penampilan, demikian pula bagi siapa yang mengetahui kegigihan para walinya dan keinginan mereka untuk membahagiakannya serta pandangan kaum lelaki yang biasanya jauh ke depan….barangsiapa yang merenungi hal itu semua, maka tahulah kita akan kebutuhan terhadap apa yang disebut Wali itu.
  • Manakala kita mengetahui bahwa pernikahan tanpa wali hukumnya Fâsid (rusak), lalu jika ia terjadi juga, maka ia tidak dianggap sebagai pernikahan yang sesuai dengan syari’at dan wajib difasakh (dibatalkan) melalui hakim ataupun thalaq/cerai oleh sang suami.
    Sebab, pernikahan yang diperselisihkan hukumnya perlu kepada proses Fasakh atau Thalaq, berbeda dengan pernikahan Bâthil yang tidak membutuhkan hal itu.Perbedaan Antara Pernikahan Bâthil Dan Fâsid

    – Bahwa terhadap pernikahan Bâthil, para ulama telah bersepakat hukumnya tidak shah, seperti menikah dengan isteri ke-lima bagi suami yang sudah memiliki empat orang isteri, atau menikah dengan saudara wanita kandung dari isteri (padahal saudaranya itu masih shah sebagai isteri)…Pernikahan seperti ini semua disepakati oleh para ulama kebatilannya sehingga tidak perlu proses Fasakh.
    – Sedangkan pernikahan Fâsid adalah pernikahan yang diperselisihkan oleh para ulama mengenai shah nya seperti pernikahan tanpa wali atau tanpa para saksi ; Ini semua harus melalui proses Fasakh (pembatalan) oleh pihak Hakim atau proses Thalaq oleh sang suami.

  • Bila seorang suami mencampuri isterinya melalui Thalaq Bâthil atau Fâsid, maka dia berhak untuk mendapatkan mahar utuh (sesuai yang disebutkan dalam aqad nikah, tidak boleh kurang) sebagai konsekuensi dari telah dicampurinya tersebut (dihalalkan farjinya).
  • Bila seorang wanita tidak memiliki wali dari kaum kerabatnya, atau mantan budak wanita tidak mendapatkan mantan majikannya sebagai wali; maka yang bertindak menjadi walinya ketika itu adalah sang Imam (penguasa) atau wakilnya, sebab Sultan (penguasa) adalah bertindak sebagai wali orang yang tidak memiliki wali.
  • Perselisihan Para Ulama Mengenai Pensyaratan Keadilan Wali
    Dalam hal ini terdapat dua pendapat ulama:
    1. Imam asy-Syafi’iy dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya berpendapat bahwa seorang wali harus seorang yang adil secara zhahirnya, sebab hal ini merupakan Wilâyah Nazhoriyyah (perwalian yang memerlukan sudut pandang) sehingga si wanita ini tidak dizhalimi oleh wali yang fasiq.
    2. Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa keadilan itu bukan merupakan syarat bagi seorang wali bahkan perwalian orang yang fasiq boleh hukumnya karena dia boleh menjadi wali bagi pernikahan dirinya sendiri sehingga perwaliannya atas orang selainnya shah hukumnya.
    Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari dua riwayat yang berasal dari Imam Ahmad. Juga merupakan pendapat pilihan pengarang kitab al-Mughniy (Ibn Qudamah), pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr, Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim. Sedangkan dari ulama kontemporer, pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’diy.
    Pengarang kitab asy-Syarh al-Kabîr berkata, “Dalil yang shahih dan yang banyak diamalkan adalah bahwa ayahnya-lah yang memiliki wanita tersebut sekalipun kondisinya tidak baik selama dia bukan kafir. Saya tegaskan, berdasarkan pendapat inilah kaum Muslimin mengamalkannya.”

Rujukan
– CD al-Mawsû’ah al-Hadîtsiyyah
– Al-Bassam, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, Tawdlîh al-Ahkâm, (Mekkah: Maktabah wa mathba’ah an-Nahdlah al-Haditsah, 1414 H), Cet. 2
– ath-Thahhân, Mahmud, Taysîr Mushtholah al-Hadîts, (Riyadl: Maktabah al-Ma’arif, 1417 H), Cet.IX

Hatim Yang Tuli (Hatim Al ‘Asham)

Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan. Namun, beliau lebih populer dengan nama Hatim Al ‘Asham atau Hatim yang tuli. Tahukah engkau, mengapa seorang ‘ulama yang mulia ini diberi julukan “yang tuli”?

Syaikh An Nawawi Al Bantani dalam Syarh Nashaihul Ibad menceritakan bahwa Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan pernah menikahi seorang perempuan. Setelah menikah, maka beliau pun mulai berbincang-bincang dengan istrinya. Pada saat itu, istrinya berbicara sambil mengeluarkan suara yang tidak sedap didengar.

Mendengar hal ini, Hatim kemudian berkata sambil sedikit berteriak, “ulangi perkataanmu, ulangi perkataanmu” sampai beberapa kali. Hal ini dilakukan demi menjaga kehormatan istrinya agar tidak merasa malu di hadapan suaminya tercinta. Perbuatannya tersebut membuat istrinya mengira bahwa Hatim merupakan orang yang agak lemah pendengarannya atau seorang yang tuli. Hal ini tidak diketahui oleh istrinya hingga akhir hayatnya. Selama mendampingi Hatim, istrinya mengira bahwa suaminya memang seorang yang tuli.

Maka, adakah seorang suami hari ini yang sanggup menjaga kehormatan istrinya seperti Hatim Al ‘Asham menjaga istrinya? Semoga masih ada… dan semoga anda adalah orangnya… 🙂

Syari’at Nadzhar Sebelum Khitbah

Sebagian orangtua merasa riskan saat melihat anak laki-lakinya yang sudah hampir berkepala 2 namun belum juga memiliki pacar. Alasannya sederhana, mereka khawatir puteranya ini tidak akan menemukan calon istri yang tepat jika tidak pacaran. Saat sang putera mencoba menjelaskan tatacara pernikahan dalam Islam, maka orangtua lebih kaget lagi, karena seolah-olah sang putera akan membeli kucing di dalam karung. Apalagi jika sang calon yang diajukan oleh sang putera adalah muslimah shalihah yang mengenakan cadar. Lalu, bagaimana mugkin puteranya tersebut bisa menyukai atau mencintai sang istri kelak jika belum melihat wajahnya..?

Padahal, Islam mengenal sebuah syari’at yang sunnah dilakukan sebelum pernikahan, bahkan sebelum dilakukan lamaran resmi oleh keluarga mempelai pria. Syari’at ini dikenal dengan nama “an nadzhar” yang secara bahasa bermakna “melihat” atau “memandang“. Yakni, sang calon pengantin pria memandang dengan seksama calon yang akan dipinangnya hingga timbul keinginan yang kuat untuk menikahinya dan menjadikannya kekasih hatinya yang halal.

أخرج الإمام أحمد في مسنده (3\360): عن جابر بن عبد الله الأنصاري قال: سمعت رسول الله يقول: «إذا خطَبَ أحدُكُم المرأة، فَقَدِرَ أن يرى منها بعض ما يَدْعُوهُ إليها، فليَفعَل».

Diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Ketika salah satu dari kalian melakukan khitbah terhadap seorang perempuan, kemudian memungkinkan baginya untuk melihat apa yang menjadi alasan baginya untuk menikahinya, maka lakukanlah”. Ini merupakan riwayat yang shahih.

Menyukai keindahan dan kecantikan merupakan tabi’at yang tidak bisa dilepaskan dari setiap manusia. Hanya saja, memang kecantikan atau keindahan ini bersifat relatif, sehingga rasa suka atau cinta kadang hadir dengan cara yang tidak masuk akal. Namun demikian, Allah telah menetapkan bagi hamba-Nya:

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء 

“Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi…” (Q.S. An Nisaa’ 4:3)

Maka dari itu hendaklah bagi setiap calon mempelai untuk memperhatikan calon pasangannya agar benar-benar yakin dan menikahinya dengan rasa cinta dan suka. Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa’di tentang ayat ini, “Ayat ini menunjukan bahwasanya seyogyanya seseorang yang hendak menikah untuk memilih (wanita yang disenanginya), bahkan syari’at telah membolehkan untuk melihat perempuan yang hendak dinikahinya agar ia berada di atas ilmu tentang perempuan yang akan dinikahinya”. [Tafsir As-Sa’di I/164]

Berkata Syaikh Muhammad bin Al ‘Utsaymin, “Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak mewakili penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang perempuan cantik menurut seseorang namun tidak cantik menurut orang yang lain. Terkadang seseorang –misalnya- melihat seorang wanita dalam suatu kondisi tertentu bukan pada kondisi sang perempuan yang biasanya. Terkadang seseorang dalam kondisi gembira dan yang semisalnya maka ia mengalami kondisi tersendiri. Demikian juga tatkala ia sedang sedih maka ia memiliki kondisi yang tersendiri. Kemudian juga terkadang seorang perempuan tatkala mengetahui bahwa ia akan di-nadzhar maka iapun menghiasi dirinya dengan banyak hiasan-hiasan, sehingga tatkala seorang lelaki memandangnya maka ia menyangka bahwa perempuan tersebut sangat cantik jelita, padahal hakekatnya tidaklah demikian”. [Asy-Syarhul Mumti’ XII/20]

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau melamar seorang wanita maka Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pun berkata kepadanya,

اُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَْن يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا

Lihatlah ia (wanita yang kau lamar tersebut) karena hal itu akan lebih menimbulkan kasih sayang dan kedekatan diantara kalian berdua [HR At-Thirmidzi III/397 no 1087, Ibnu Majah no 1865 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani. (Lihat As-Shahihah no 96)]

Syaikh Muhammad bin Al ‘Utsaymin berkata, “Terkadang seseorang termasuk golongan para pendamba kecantikan maka ia tidak bisa menjaga kemaluannya kecuali jika menikahi wanita yang cantik jelita”. [Ceramah Syikh Ibnu Utsaimin (Syarh Bulugul Maram, kitab An-Nikaah kaset no 2)]

Berkata Al-Munawi, “Jika pernikahan disebabkan dorongan kecantikan maka pernikahan ini akan lebih langgeng dibandingkan jika yang mendorong pernikahan tersebut adalah harta sang wanita, karena kecantikan adalah sifat yang senantiasa ada pada sang wanita adapun kekayaan adalah sifat yang bisa hilang dari sang wanita”. [Faidhul Qodir 3/271]

وذهب الأئمة الأربعة وجماهير الفقهاء إلى استحباب نظر الخاطب إلى المرأة التي يريد خطبتها قبل أن يخطبها. وحجتهم في ذلك الحديث الصحيح الذي أخرجه مسلم عن أبي هريرة قال: كنت عند النبي ، فأتاه رجلٌ، فأخبره أنه تزوج امرأة من الأنصار. فقال له رسول الله : «أنظرت إليها؟». قال: لا. قال: «فاذهب فانظر إليها، فإن في أعين الأنصار شيئاً» (يقصد صغر عيونهن).

Dan Imam Empat Madzhab serta mayoritas Ulama telah menyepakati sunnahnya seorang lelaki yang ingin melamar seorang perempuan untuk melakukan “nadzhar” sebelum khibtah (lamaran resmi), dengan landasan dalil hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hurayrah : Aku pernah bersama Rasulullah lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia menikahi seorang perempuan dari kaum anshar, lalu Rasulullah menanyakan “Sudahkan engkau melihatnya?” lelaki itu menjawab “Belum”. “Pergilah dan lihatlah dia” kata Rasulullah, “Karena pada mata kaum anshar (terkadang ) ada sesuatunya”. (maksudnya kecil matanya).

واتفقوا على أنه لا يُشتَرطُ رضاها بل يجوز في غفلتها. وله تكراره وتأمل المحاسن بلا إذن. لأن النبي قد أذن في ذلك مطلقاً، ولم يشترط استئذانها. ولأنها تستحيي غالباً من الإذن. ولأن في ذلك تغريراً، فربما رآها فلم تعجبه فيتركها فتنكسر وتتأذى. ولهذا قال العلماء: يستحب أن يكون نظره إليها قبل الخطبة حتى إن كرهها تركها من غير إيذاء، بخلاف ما إذا تركها بعد الخطبة. مع العلم أن هذا النظر من غير خلوةٍ بها ولا لمس، إذ لا حاجة إليه. ويجوز لها النظر إليه كذلك، كما أنه يجوز له النظر إليها.

Para ‘Ulama juga telah sepakat bahwa melihat perempuan dengan tujuan khitbah tidak harus mendapatkan izin perempuan tersebut, bahkan diperbolehkan tanpa sepengetahuan perempuan yang bersangkutan. Bahkan diperboleh berulang-ulang untuk meyakinkan diri sebelum melangkah berkhitbah. Ini karena Rasulullah dalam hadist di atas memberikan izin secara mutlak dan tidak memberikan batasan. Selain itu, perempuan juga kebanyakan malu kalau diberitahu bahwa dirinya akan dikhitbah oleh seseorang.

Begitu juga kalau diberitahu terkadang bisa menyebabkan kekecewaan di pihak perempuan, misalnya pihak lelaki telah melihat perempuan yang bersangkutan dan memebritahunya akan niat menikahinya, namun karena satu dan lain hal pihak lelaki membatalkan, padahal pihak perempuan sudah mengharapkan.Maka para ulama mengatakan, sebaiknya melihat calon istri dilakukan sebelum khitbah resmi, sehingga kalau ada pembatalan tidak ada yang merasa dirugikan. Lain halnya membatalkan setelah khitbah kadang menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.Persyaratan diperbolehkan melihat adalah dengan tanpa khalwat (berduaan saja) dan tanpa bersentuhan karena itu tidak diperlukan. Bagi perempuan juga diperbolehkan melihat lelaki yang mengkhitbahinya sebelum memutuskan menerima atau menolak.

وإنما أختار القول الثاني وهو جواز النظر لما يظهر منها عادة كالرأس والرقبة والساقين. ووجهُ ذلك أن النبي لمّا أذِنَ في النظر إليها –من غيرِ عِلمها–، عُلمَ أنه أذِنَ في النظر إلى جميع ما يظهر عادة. إذ لا يمكن إفرادُ الوجهِ بالنظر مع مشاركة غيره له في الظهور، طالما أن ذلك من غير عِلمها. ولأن الوجه يظهر غالباً وليس بعورة، فما يحتاج إلى رخصة أصلاً! ولعموم قوله : «يرى منها بعض ما يَدْعُوهُ إليها». ولأنها امرأةٌ أبيحَ النظرُ إليها بأمر الشارع، فأُبيحَ النظرُ مِنها إلى ذلك كذواتِ المحارم. وقد جاء ذلك (أي جواز رؤية ساقي المخطوبة) عن عمر بن الخطاب \في خطبته لأم كلثوم بنت علي بن أبي طالب

Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan diperbolehkan lelaki melihat perempuan yang ditaksir sebelum khitbah. Sebagian besar ulama mengatakan boleh melihat wajah dan telapak tangan. Sebagian ulama mengatakan boleh melihat kepala, yaitu rambut, leher dan betis. Dalil pendapat ini adalah hadist di atas, bahwa Rasulullah telah mengizinkan melihat perempuan sebelum khitbah, artinya ada keringanan di sana. Kalau hanya wajah dan telapak tangan tentu tidak perlu mendapatkan keringanan dari Rasulullah karena aslinya diperbolehkan. Yang wajar dari melihat perempuan adalah batas aurat keluarga, yaitu kepala, leher dan betis. Dari Umar bin Khattab ketika berkhitbah kepada Umi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib melakukan demikian.

Syaikh Utsaimin juga memboleh sang wanita untuk menampakkan rambutnya kepada sang lelaki yang hendak melamarnya. [Nuur ‘alaa Ad-Darb kaset no 165 side B]

Mayoritas ulama berpendapat bahwa bagian tubuh wanita yang boleh dilihat hanyalah wajah dan kedua tangan [Naylul Awthar VI/240]. Akan tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi mengingat atsar di atas (tentang kisah ‘Umar) di atas yang menyelisihi hal ini.

Dan atsar ini merupakan problem bagi orang-orang yang menyatakan bahwa tidak boleh melihat tatkala nadzhar kecuali wajah dan kedua tangan.

Syaikh Muhammad bin Al ‘Utsaymin juga menyatakan bolehnya mengulang nadzhar, “Jika pada nadzhar yang pertama yang dilakukannya ia tidak mendapati pada diri wanita tersebut apa yang memotivasinya untuk menikahi sang wanita maka hendaknya ia me-nadzhar lagi sang wanita untuk yang kedua kali dan yang ketiga kalinya.” [Asy-Syarhul Mumti’ XII/21]

Dari uraian tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa Islam telah mengatur sedemikian rupa segala macam hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia untuk menjaga kemaslahatan mereka.  Demikianlah Islam berusaha menjaga fitrah manusia dan mengarahkan mereka agar meraih kebahagiaannya di dunia berdasarkan ketentuan-Nya.

Sebagai penutup, kami kutipkan perkataan Al Imam Ahmad bin Hanbal yang ditujukan kepada para pemuda yang akan melakukan khitbah,

إذا خطب رَجُلٌ امرأة، سأل عن جَمَالها أوّلاً. فإن حُمِدَ، سأل عن دِينِها. فإن حُمِدَ، تَزوّج. وإن لم يُحْمَدَ، يكون رَدَّهُ لأجْلِ الدِّين. ولا يَسألُ أوّلاً عن الدِّين، فإن حُمِدَ سأل عن الجمال، فإن لم يُحمَد، ردّها. فيكون ردَّه للجمال لا للدِّين

“Saat seorang lelaki hendak berkhitbah kepada seorang perempuan, maka tanyalah tentang kecantikannya terlebih dahulu, jika dipuji maka tanyakanlah tentang agamanya, sehingga jika ia membatalkannya, maka ia membatalkan karena alasan agama. Jika ia menanyakan agamanya terlebih dahulu sebelum kecantikannya, maka ketika ia membatalkan adalah karena alasan kecantikannya dan bukan karena alasan agamanya.” [Syarh Muntaha Al-Iradaat 2/623]

Wallahu a’lam…

Ciri Anak Sholeh

Adik-adik mau tahu ciri anak yang sholeh & sholehah? Kalau mau, mari simak 10 nashihat berikut ini semoga kalian semua menjadi orang-orang yang beruntung.

Anak Sholeh Rajin Ngaji

Ciri-ciri anak yang sholeh & sholehah:

1. Cinta kepada Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun dan tidak beribadah kepada selainNya seperti beribadah, berdoa, atau meminta pertolongan kepada Sapi, Kerbau, Matahari, Nyi Roro Kidul, Dewa-Dewi, Batu, Pohon-pohon besar, Kuburan orang sholeh, patung dan lain sebagainya.

2. Cinta kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam dan meyakininya sebagai Nabi utusan Allah. Mematuhi perintahnya dan menjauhi apa yang dilarangnya, serta percaya dengan risalah yang dibawanya yaitu hadits atau As-Sunnah.

3. Cinta kepada Al-Qur’an, yaitu dengan selalu membacanya, senantiasa berusaha menghafalnya karena orang yang menjaganya akan mendapatkan syafa’at atau pertolongan kelak di hari kiamat di akhirat. Dan tidak lupa untuk mengamalkan isnya dan menjalankan hukum-hukumnya.

4. Cinta kepada shahabat-shahabat Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam yang turut membela dan memperjuangkan Islam disisi Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dengan tidak membenci mereka ataupun mencaci mereka. Di antara sahabat-sahabat Rasul yang utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, ‘Umar bin Al Khattab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

5. Cinta kepada Keluarga Rasulullah yang turut berjuang bersama Rasulullah menyebarkan Islam ke seluruh negeri dan cinta kepada orang-orang yang selalu mengikuti jalan atau sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.

6. Cinta Sholat lima waktu dengan tidak sekalipun meninggalkannya serta mengerjakan sholat-sholat sunnah, bagi anak laki-laki berjama’ah di Masjid dan anak perempuan sholat di rumah mereka tepat pada waktunya.

7. Cinta masjid, karena masjid adalah rumah Allah dengan tidak membuat keributan atau bermain berlebihan di dalamnya serta tidak bercanda atau tertawa ketika sholat karena menghargai rumah Allah.

8. Cinta kepada kedua orang tua, dengan mematuhi perintahnya, tidak menyakiti hati mereka, selalu berbuat baik kepada mereka, berusaha menyenangkan hati orang tua dan tidak menyusahkan atau membandel terhadap keduanya.

9. Cinta kepada saudara, adik-kakak, kakek-nenek, paman-bibi, tetangga dan seluruh kaum muslimin di seluruh dunia.

10. Cinta dan sayang kepada fakir miskin, anak terlantar, anak yatim, dengan memberikan bantuan sesuai dengan keperluan mereka dan perduli serta tidak mencemooh atau mengolok-olok mereka sebab mereka adalah juga hamba Allah.

Semoga adik-adik bisa menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah yang senantiasa mendoakan kedua orangtuanya dan berbuat baik selalu… Aamiin…

Sumber : MENTARIINDONESIA dengan sedikit perubahan.

Jangan Engkau Nikahi Perempuan Ini

 1.      Kelaki-lakian

Yaitu perempuan yang tidak menyukai kewanitaan dan feminisme. Padahal, yang paling menarik pada diri seorang perempuan adalah sifat-sifat feminim, kelembutan, dan ketulusannya. Inilah yang memikat dan membuat laki-laki mencintainya. Bagaimanakah seorang suami akan memperlakukan istri yang sifatnya kelaki-lakian? Di mana rambutnya dipotong pendek seperti laki-laki, suara yang nyaring atau tinggi, merokok, dan lain-lain.

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mengutuk wanita yang kelaki-lakian.” (HR. Abu Dawud)

2.      Pembangkang

Yaitu istri yang selalu berusaha meyakinkan suaminya bahwa pemikiran-pemikiran sang suami adalah salah, tuntutan-tuntutan sang suami tidak penting, sehingga secara praktis harus diabaikan atau ditunda pelaksanaannya.

Dia akan mengatakan bahwa kesengsaraan, kemalasan, atau kecerewetannya bukan karena kepribadiannya jelek, melainkan karena ulah sang suami. Dia sulit dipuaskan. Bahkan, bisa memuji semua orang, kecuali suaminya.

3.      Pemarah

Yaitu wanita yang amarahnya dapat tersulut oleh hal-hal sepele tapi tidak mudah dipadamkan. Dia akan mengutuk, mencaci maki, melontarkan kata-kata kotor, menampar pipinya sendiri, bahkan merobek-robek bajunya jika permintaannya tidak segera dipenuhi oleh anak-anaknya atau suaminya.

4.      Tidak Beragama

Yaitu wanita yang mengabaikan shalat, tidak berjilbab, memamerkan perhiasan, mengobral pembicaraan, dan tidak sungkan tertawa terbahak-bahak di depan banyak orang. Jika dinasihati, dia berdalih hal ini tidak bersangkut paut dengan keimanan di hati.

Kepada wanita tersebut, saya katakan, iman bukanlah lamunan ataupun hiasan, melainkan sesuatu yang tertanam kukuh di dalam hati dan dibuktikan oleh perbuatan. Kian kukuh melaksanakan perintah Allah, kian jujur keislamanmu. Kalau tidak, itu adalah pengakuan palsu.

5.      Memiliki Hubungan Asmara Sebelum Menikah

Wanita seperti ini masih perawan pada zahirnya saja, tapi batinnya tidak. Dia telah memberikan hatinya yang mahal dengan harga murah kepada pemuda yang konyol dan tidak bertanggungjawab, lewat surat-surat cinta, pembicaraan di telepon, SMS, tukar-menukar kaset lagu atau hadiah-hadiah romantis, dengan anggapan pemuda itu akan menikahinya. Lebih parah lagi, dia bersedia berdua-duaan dan membiarkan pemuda itu mencumbunya. Dan yang paling parah, dia rela menyerahkan keperawanannya demi pemuda yang mengakui mau menikahinya tersebut.

Gadis yang menyerahkan diri kepada seorang pemuda sebelum menikah, takkan dinikahi oleh pemuda itu kecuali jika pemuda itu tidak punya rasa cemburu. Kebanyakan pemuda tidak suka menikahi gadis yang telah menyerahkan diri kepadanya, karena hal itu justru menjadi bukti bahwa gadis tersebut tidak dapat menjaga kehormatan dirinya.

Setelah menikah, gadis itu akan mengalami konflik batin. Apalagi jika lelaki yang dicintainya tidak mau menikahinya. Lalu, karena takut menjadi perawan tua, dia menikah dengan siapa saja yang meminangnya. Dia takkan setia kepada suaminya, menjadi pembangkang, pemarah, dan penggerutu, kecuali jika dia benar-benar bertaubat kepada Allah dan mengerti itulah jalan hidupnya.

Dikutip dari “Li man yuriidu az zawaaj… wa tazawwajSyaikh Fuad Shalih
terj. Untukmu yang Akan Menikah dan Telah Menikah hal 90-92.