Isbal

وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة , وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا


“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa isbal (menyeret) sarung karena sombong termasuk dosa besar. Adapun isbal yang bukan karena sombong, maka dhohir-nya banyak hadits juga mengharamkannya.” (Fathul bari: jilid 13, hal: 266, cetakan Daaru Thaibah)

No Isbal


Muqaddimah

Isbal artinya menjulurkan kain/ pakaian bagian bawah hingga ke bawah mata kaki. Isbal dapat terjadi pada sarung, jubah, atau celana. Permasalahan ini mendapat perhatian setelah terjadi ikhtilaf (perselisihan) dalam penentuan hukum isbal itu sendiri.

Ada yang menggeneralisir isbal kepada dalil-dalil yang menunjukkan bahwa haramnya isbaljika disertai sombong. Sedangkan jika tidak disertai seombong maka tidak mengapa.

Adapun selainnya berpendapat bahwa isbal memiliki dua jenis. Ada isbal yang tidak disertai sombong dan ada isbal yang disertai sombong. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum keduanya. Imam Nawawi menyebutkan bahwa isbal yang tidak disertai sombong hukumnya makruh, sedangkan Imam Ibnu Hajar Al Asqalani dan sebagian besar ulama madzhab Hanbali menyatakan haramnya isbal, dengan atau tidak disertai kesombongan walaupun bersepakatan tentang perbedaan hukumnya, dan isbal yang disertai kesombongan lebih berat daripada isbal yang tidak disertai kesombongan.

Pendapat ini dibangun di atas kaidah-kaidah ushul fiqih dalam melihat dalil-dalil muthlaq dan muqayyad. Ada empat kondisi ihwal muthlaq dan muqayyad yang saling berhadapan:

  1. Masing-masing hukum dan sebabnya sama. Jika hukum dan sebabnya sama maka muthlaq harus dibawa ke muqayyad, kecuali pendapat Abu Hanifah.
  2. Hukum keduanya sama namun sebabnya berbeda. Dalam hal ini, Malikiah dan sebagian Syafi’iah berpendapat muthlaq dibawa ke muqayyad. Adapun mayoritas Hanafiah dan sebagian Syafi’iah dan satu riwayat dari Imam Ahmad memilih bahwa mutlaq tidak perlu diangkat pada nash muqayyad.
  3. Sebab keduanya sama namun hukumnya berbeda. Adapun jika hukumnya berbeda dan sebabnya sama maka sebagian ulama berpendapat muthlaq tidak dibawa ke muqayyad (ini juga merupakan pendapat Ibnu Qudamah). Ulama yang lain berpendapat bahwa muthlaq dibawa ke muqayyad.
  4. Masing-masing memiliki hukum dan sebab yang berbeda. Jika sebab dan hukumnya berbeda maka para ulama telah sepakat bahwa muthlaq tidak dimasukkan ke dalam nash muqayyad.

Berkaitan dengan perkara isbal, ternyata nash muthlaq dan nash muqayyad menyinggungnya. Namun nash mutlaq tidak diikat nash muqayyad. Sebab nash-nash yang ada termasuk kategori keadaan yang ke empat. Tidak ada khilaf dikalangan para ulama bahwa pada keadaan yang keempat (sebab dan hukumnya berbeda) muthlaq tidak boleh dibawa ke muqayyad. Karena inilah isbal kemudian dibagi menjadi dua jenis yang berbeda illat (sebabnya) dan berbeda pula hukumnya.

Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa isbal termasuk ke dalam ihwal yang ke empat.

Hadits yang pertama

Adanya hadits-hadits tentang larangan isbal secara muthlaq. Di antaranya:

Dari Al-Mugirah bin Syu’bah berkata:” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Wahai Sufyan bin Sahl, Janganlah engkau isbal!. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang isbal[1]

Dan hadits Hudzaifah, berkata: “Rasulullah memegangi betisnya dan berkata: “Ini adalah tempat sarung (pakaian bawah), jika engkau enggan maka turunkanlah, dan jika enggau enggan maka tidak ada haq bagi sarung di kedua mata kaki“.[2]

Berdasarkan tekstual (dzhahir) hadits ini, izar (pakaian bawah) tidak boleh diletakkan di mata kaki secara mutlaq, tidak disyaratkan karena sombong atau tidak.[3]

Bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :

“Sebaik-baik orang adalah Kharim Al-Asadi, kalau bukan karena panjangnya jummah-nya dan sarungnya yang isbal”[4]

Hadits ini menunjukkan bahwa derajat seseorang dapat turun di hadapan Allah dan Rasul-Nya dikarenakan sarungnya yang isbal.

Hadits yang kedua

Dari ‘Amr bin Syarid, berkata: “Rasulullah melihat dari jauh seseorang yang menyeret sarungnya (di tanah) maka Nabi pun bersegera segera atau berlari kecil untuk menghampirinya. Lalu beliau berkata: “Angkatlah sarungmu dan bertakwalah kepada Allah!”.

Maka orang tersebut memberitahu : “Kaki saya cacat (kaki bentuk x-pen), kedua lututku saling menempel”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tetap memerintahkan : “Angkatlah sarungmu. Sesungguhnya seluruh ciptaan Allah indah.”

(Setelah itu) orang tersebut tidak pernah terlihat lagi kecuali sarungnya sebatas pertengahan kedua betisnya.”[5]

Hadits ini dengan kasat mata menegaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tetap memerintahkan orang ini meski isbal bukan timbul dari rasa congkak, tetapi hanya bertujuan untuk menutupi kekurangannya (cacat). Bahkan Rasulullah tidak memberinya maaf. Bagaimana dengan kaki kita yang tidak cacat…?, tentunya kita malu dengansahabat orang tersebut yang rela terlihat cacatnya demi melaksanakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Hadits yang ketiga

Hadits yang memadukan kedua bentuk isbal dalam satu redaksi :

Dari Abu Said Al-Khudri berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sarung seorang muslim hingga tengah betis dan tidak mengapa jika di antara tengah betis hingga mata kaki. Segala (kain) yang di bawah mata kaki maka (tempatnya) di neraka. Barang siapa yang menyeret sarungnya (di tanah-pent) karena sombong maka Allah tidak melihatnya.[6]

Syaikh Al ‘Utsaymin menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan dua bentuk amal tersebut (isbal secara muthlaq dan isbal karena kesombongan-pen) dalam satu hadits, dan memerinci perbedaan hukum keduanya karena adzab keduanya berlainan. Artinya, kedua amal tersebut ragamnya berbeda sehingga berlainan juga pandangan hukum dan sanksinya.[7] Hadits ini juga mendukung tidak perlunya membawakan nash yang muthlaq pada nash yang muqayyad.

Hadits yang keempat

Dari Ibnu Umar, beliau berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersada: “Barang siapa menjulurkan pakaiannya (di tanah) Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat“. Ummu Salamah bertanya : “Apa yang harus dilakukan para wanita dengan ujung-ujung baju mereka?”, Rasulullah menjawab: “Mereka menurunkannya (di bawah matakaki) hingga sejengkal“. “Kalau begitu akan tersingkap kaki-kaki mereka”, jelas Ummu Slamah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata (lagi): “Mereka turunkan hingga sehasta dan jangan melebihi kadar tersebut“.[8]

Ibnu Hajar mengkritik pandangan Imam Nawawi, isbal hanya haram saat bergandengan dengan kesombongan, dengan berkata: “Fahamnya (Ummu salamahradhiyallahu ‘anha) ini, mengandung bantahan bagi mereka yang mengatakan bahwa: Hadits-hadits larangan isbal yang muthlaq itu, harus di-taqyid dengan hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa ia melakukannya dengan rasa sombong… Bantahan itu bisa dijabarkan: Jika seandainya larangan isbal itu khusus bagi mereka yang sombong, tentu pertanyaan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha (kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam) tentang hukum wanita meng-isbal-kan pakaiannya itu tidak ada gunanya sama sekali.

Justru Ummu Salamah menanyakan hal itu, karena ia paham bahwa larangan isbal tersebut itu umum, baik disertai rasa sombong atau tidak. Ia menanyakan hukum wanita meng-isbal-kan pakaiannya karena perlunya mereka isbal untuk menutup aurat, karena seluruh kaki wanita adalah aurat, lalu Rasul shallallahu alaihi wasallam menerangkan bahwa hukum isbal-nya wanita berbeda dengan hukum isbal-nya pria dalam hal ini saja.”[9]

Syaikh Al-Albani memaparkan : “Nabi tidak mengizinkan para wanita untuk isbal lebih dari sehasta karena tidak ada manfaat di dalamnya (karena dengan isbal sehasta kaki-kaki mereka sudah tersembunyi -pen), maka para lelaki lebih pantasdilarang untuk menambah (panjang celana mereka, karena tidak ada faedahnya sama sekali)”[10]

Berkata Ibnu Hajar[11] : Hadits Ummu Salamah ada syahidnya dari hadits Ibnu Umar diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalan Abu As-Siddiq dari Ibnu Umar, beliau berkata: Rasulullah memberi rukhsah (keringanan) bagi para Ummahatul mu’minin (istri-istri beliau) (untuk menurunkan ujung baju mereka) sepanjang satu jengkal, kemudian mereka meminta tambah lagi, maka Rasulullah mengizinkan mereka untuk menambah satu jengkal lagi.[12]

Perkataan Ibnu Umar “Rasulullah memberi rukhsah” menunjukan bahwa hukum isbal pada asalnya haram, atau hukum menaikkan pakaian di atas mata kaki hukumnya adalah wajib. Karena kalimat “rukshah” (keringanan/dispensasi) biasanya digunakan untuk menjatuhkan hal-hal yang asalnya adalah wajib (atau untuk melakukan hal-hal yang asalnya terlarang) karena suatu sikon.

Hadits yang kelima

Dan janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun. Engkau berbicara dengan saudaramu sambil bermuka manis juga merupakan kebaikan. Angkatlah sarungmu hingga tengah betis!, jika engkau enggan maka hingga dua mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal karena sesungguhnya hal itu (isbal) termasuk kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan[13]

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata : Larangan isbal juga bisa karena hal itu termasuk tanda kesombongan, Ibnul ‘Arabi mengatakan: Laki-laki tidak boleh menjulurkan pakaiannya melewati mata kakinya, lalu berkilah: “Aku tidak menjulurkannya karena sombong!” Karena lafal hadits yang melarang hal itu telah mencakup dirinya, dan orang yang masuk dalam larangan, tidak boleh membela diri dengan mengatakan: “Aku tidak mau mengindahkan larangan itu, karena sebab larangannya tidak ada padaku.” Hal seperti ini adalah klaim yang tidak bisa diterima, sebab tatkala ia menjulurkan pakaiannya, sejatinya ia menunjukkan karakter kesombongannya. [Fathul Bari13/266-267]

Usai menukil ungkapan Ibnu ‘Arabi di atas, Ibnu Hajar menetapkan : “Kesimpulannya, isbal berkonsekuensi (melazimkan) pemanjangan pakaian. Memanjangkan pakaian (dapat) menunjukkan kesombongan walaupun orang yang memakai pakaian tersebut tidak berniat sombong”.[14]

Tidak isbal, lebih baik

Simpulan

Isbal itu memiliki dua bentuk dengan dua illat dan dua hukum yang berbeda:

1. Isbal yang tanpa kesombongan, illat-nya adalah mengulurkan pakaian bawah di bawah mata kaki (tidak dilihat apakah disertai kesombongan atau tidak), ancamannya neraka sebagaimana tekstual hadits di atas. Maka Imam Nawawi menghukumi makruh.

Namun demikian, sebagian ulama menghukumi haram, bahkan Ibnu Hajar menolak pendapat Imam Nawawi dengan menegaskan bahwa perkataan Imam Syafi’i yang dimaksud oleh Imam Nawawi itu, disebutkan oleh Al-Buwaithi di Kitab Mukhtashar-nya. Imam Syafi’i mengatakan: “Tidak boleh isbal, baik di dalam shalat atau di luarnya bagi mereka yang sombong. Sedang bagi yang tidak sombong lebih ringan hukumnya, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Bakar.” (Ibnu Hajar mengatakan) : Perkataan Imam Syafi’i “lebih ringan hukumnya”, tidak sharih (tegas) dalam menafikan haramnya (isbal tanpa rasa sombong). [Fathul Bari 13/266]

2. Isbal yang disertai dengan kesombongan, illat-nya adalah mengulurukan kain disertai khuyala, ini lebih berat dibandingkan yang pertama karena mengandung dua keburukan: pertama, menjulurkan kain di bawah mata kaki. Kedua, khuyala atau sombong. Ancamannya adalah tidak akan dilihat Allah di akhirat. Hukumnya adalah haram, dan para ulama sepakat akan keharamannya.

Sedangkan berkaitan  kesombongan itu sendiri, dengan atau tanpa isbal, kesombongan wajib ditinggalkan. Sebagaiman hadits Nabi:

“Tidak akan masuk jannah seorang yang di dalam hatinya ada sebiji sawi dari kibr (kesombongan).”

Wallahu a’lam


[1] HR Ibnu Majah II/1183 no 3574 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 4004)

[2] HR At-Thirmidzi III/247 no 1783, Ibnu Majah II/1182 no 3572, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah V/481 no 2366)

[3] As-Shahihah 6/409

[4] Berkata Syaikh Walid bin Muhammad: “Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad (4/321,322,345) dari hadits Khorim bin Fatik Al-Asadi. Dan pada isnadnya ada perowi yang bernama Abu Ishaq, yaitu As-Sabi’i dan dia adalah seorang mudallis, dan telah meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah. Namun hadits ini ada syahidnya (penguatnya) yaitu dari hadits Sahl bin Al-Handzoliah yang diriwayatkan oleh Ahmad (4/179,180) dan Abu Dawud (4/348) dan pada sanadnya ada perowi yang bernama Qois bin Bisyr bin Qois At-Thaglabi, dan tidak meriwayatkan dari Qois kecuali Hisyam bin Sa’d Al-Madani. Berkata Abu Hatim: Menurut saya haditsnya tidak mengapa. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di Ats-Tsiqoot. Berkata Ibnu Hajar tentang Hisyam: “Maqbul” –yaitu diterima haditsnya jika dikuatkan oleh riwayat yang lain dari jalan selai dia, dan jika tidak ada riwayat yang lain (mutaba’ah) maka haditsnya layyin-. Dengan demikian derajat hadits ini adalah hasan lighoirihi, alhamdulillah. Dan hadits ini telah dihasankan oleh Imam An- Nawawi dalam Riyadhus Sholihin”. (Al-Isbal, hal 13)

[5] HR. Ahmad IV/390 no 19490, 19493 dan At-Thobrooni di Al-Mu’jam Al-Kabiir VII/315 no 7238, VII/316 no 7241. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id V/124, “Dan para perawi Ahmad adalah para perawi As-Shahih”. Lihat Silsilah As-Shahihah no:1441

[6] HR. Abu Daud no: 4093, Malik no: 1699, Ibnu Majah no: 3640. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin, Syaikh Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth

[7] As’ilah Muhimmah hal:30, sebagaimana dinukil dalam Al-Isbal hal:26

[8] HR At-Thirmidzi IV/223 no 1731 dan berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih”, An-Nasa’i VIII/209 no 5337 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani

[9] (Fathul Bari 13/259-260)

[10] Ash-Shahihah VI/409

[11] Fathul Bari (10/319)

[12] HR Abu Dawud no 4119, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat juga As-Shahihah no 460

[13] HR. Ahmad (V/64) no 20655, Abu Dawud (IV/56) no 4084, dan dari jalannya Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (X/236) no 20882, Ibnu Abi Syaibah (V/166) no 24822, Abdurrozaq dalam mushonnafnya (XI/82) no 19982, At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al- Kabiir (VII/63) no 6384 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani

[14] Al-Fath :10/325.